Showing posts with label Budha. Show all posts
Showing posts with label Budha. Show all posts

26 November 2021

Im Yang TAO

Taoisme (Tionghua) juga diejakan Daoisme, diprakarsai oleh Laozi (pinyin:Lǎozǐ) sejak akhir Zaman Chunqiu.  Taoisme merupakan ajaran Laozi yang berasaskan Daode Jing (pinyin:Dàodé Jīng).  Pengikut Laozi yang terkenal adalah Zhuangzi yang merupakan tokoh penulis kitab yang judul Zhuangzi. 

Tao tidak berbentuk, merupakan "Sesuatu" yang sudah ada sebelum semuanya ada. Arti Tao sulit dipahami, artinya sangat luas sehingga sulit diterangkan secara jelas dan rinci melalui sebuah kalimat atau kata-kata. Arti Tao yang paling sederhana adalah "Jalan".  Ada juga yang mengartikannya "Kelogisan", "Hukum", "Pedoman" atau "Aturan". 

Taoisme berasalkan dari "Dao" yang berarti tidak berbentuk, tidak terlihat tetapi merupakan asas atau jalan atau cara kejadian kesemua benda hidup dan benda-benda alam semesta dunia.  Dao yang wujud dalam kesemua benda hidup dan kebendaan adalah De. Gabungan Dao dengan De diperkenalkan sebagai Taoisme merupakan asasi alamiah.  Taoisme bersifat tenang, tidak berbalah, bersifat lembut seperti air, dan berabadi.  Keabadian manusia adalah apabila seseorang mencapai kesedaran Dao dan akan menjadi dewa.  Penganut-penganut Taoisme mempraktekan Dao untuk mencapai kesedaran Dao dan juga mendewakan. 


Taoisme juga memperkenalkan teori Yinyang, dalam Daode Jing Bab 42:

Berarti: Dao melahirkan sesuatu, yang dilahirkan itu melahirkan Yin dan Yang, Yinyang saling bertindak balas menghasilkan tenaga atua kuasa, dengan adalah tenaga ini, hasil jutaan benda di dunia.  Setiap benda dalam alam, samada hidup atau tidak, mengandungi Yinyang yang saling bertindak untuk mencapai keseimbangan. 

Yin dan Yang dengan saintifiknya diterjemahkan sebagai negatif dan positif.  Setiap benda adalah dualisme, terdapat positif mesti adanya negatif; tidak bernegatif dan tidak berpositif jadinya kosong, tidak ada apa-apa.  Bahkan magnet, magnet kepunyaan positif dan negatif, kedua-dua sifat tidak bisa diasingkan; tanpa positif, tidak wujudnya negatif, tidak jadinya magnet. 

Dan itu semua didasari oleh Wu, dimana Wu dalam Tao yang secara harafiah dapat diartikan sebagai "Kesadaran dan nalar yang tinggi". 

Wu adalah pola berpikir yang melewati pertimbangan "Hati nurani" dan "Akal sehat" dengan mempertimbangkan "Situasi", "Kondisi", dan "Cara" untuk menghasilkan suatu keputusan atau tindakan yang "Paling Tepat". 

Dalam Wu, suatu keputusan atau tindakan tidak hanya dilihat pada keputusan atau tindakan itu sendiri, melainkan juga mempertimbangkan pengaruh atau akibat dari keputusan atau tindakan tersebut. Dengan daya Wu yang tinggilah akan dihasilkan suatu keputusan atau tindakan yang "Bijaksana". 


Wu Wei

Wu Wei adalah salah satu prinsip Tao yang paling terkenal dan "hebat".  Tetapi karena pemahaman Wu Wei yang kurang tepat, banyak orang yang salah terima terhadap Tao. 

Banyak orang mengira bahwa Wu Wei yang artinya "Tidak Berbuat" bermakna "diam saja" atau "pasif" dan tidak melakukan kegiatan apa pun.  Padahal makna sebenarnya sangatlah dalam dan tidak sesederhana itu. 

Tao "tidak berbuat" apapun, tetapi karena Nya lah segalanya "tercipta". Di jaman kuno, seorang murid yang berucap sembarangan tanpa mengetahui kebenaran atau fakta dapat dihukum mati oleh gurunya.  Demikian pula kapan pun dan di mana pun tempat di dunia ini: pertumpahan darah terjadi karena masing-masing mempertahankan "kebenaran" menurut versinya sendiri. 


Lalu apakah sebenarnya "Kebenaran" yang dipertahankan itu?

Tiadakah suatu titik temu?

Apakah "Kebenaran" itu milik segolongan orang tertentu?

Ataukah merupakan suatu hal yang majemuk?

Dimanakah letak "keberadaban" manusia yang kacau karena kesadaran-nya yang rabun?


Nah, kata kuncinya adalah kesadaran.  Paling tidak (minimal) dapat berarti: kemampuan mengetahui kesalahan diri dan mencari cara memperbaikinya.  Memang hanya segelintir orang yang memiliki bibit baik yang bisa terus melatih hingga taraf tinggi. 

Pengalaman menunjukkan bahwa "alam pikiran" merupakan hal yang unik.  Bagaikan cermin.  Cermin yang retak memantulkan bayangan yang retak, meskipun obyeknya utuh.  Namun maukah dan mampukah cermin tersebut menyadari dirinya?

Untungnya kita adalah mahluk hidup yang berbudi, sehingga senantiasa dapat merevisi diri.  Memang sulit untuk keluar dari lautan kebodohan sementara diri kita sedang tenggelam.  Tetapi dalam artikel ini, saya ingin mengajak saudara-saudari semua memulai langkahnya yang pertama (dasar-dasar) untuk melatih kesadaran masing-masing. 

Wu (baca: U), dapat diterjemahkan secara singkat sebagai "mengerti", "sadar", "memahami".  Seringkali kesadaran ini menjadikan kita begitu terpesona sehingga akhirnya menjadi mati di satu titik.  Tetapi ingat bahwa "pemahaman" itu sendiri bukanlah titik akhir, melainkan sesuatu kondisi kesadaran yang tetap harus diikuti oleh sikap batin yang selalu berusaha untuk menyempurnakan pengertian-pengertiannya.  Inilah yang membedakan antara "Wu" yang sejati dengan sikap keras kepala.  Maka dikatakan: "Wu, Wu, dan Wu lagi". 

Sebenarnya "Wu" adalah sebuah kondisi dimana pikiran kita bisa "menembus" kedalam pengertian-pengertian yang hakiki secara komplit (komprehensif) dan memiliki kelincahan dalam menangkap dan menganalisa suatu obyek. 

Sesuatu yang kelihatannya sulit dan kompleks, dapat ditembus dengan satu benang merah yang sederhana. 

Otomatis dalam tarafnya yang tertinggi, perbedaan-perbedaan akan melebur, hanya tersisa satu Kebenaran saja.  Itulah yang Hakiki (Tao).  Tombak (mao) dan tameng (dun) dapat disatukan (kamus: maodun = konflik).  Dari taiji kembali pada wuji. 


Pedoman untuk Wu

Dalam menghadapi masalah sehari-hari, kita seringkali sudah merasa berpikir keras dan merasa telah mengambil keputusan yang terbaik.  Tetapi apakah sesungguhnya kriteria dari "yang terbaik" itu?

Untuk melatih diri mengarah kepada tingkat Wu yang semakin tinggi, ada 3 hal yang harus terpenuhi:

1. He Qing, sejalan dengan perasaan atau batin. 

2. He Li, sejalan dengan logika, nalar, rasio. 

3. He Fa, sejalan dengan etik, norma, hukum, peraturan. 

Poin pertama dan kedua memiliki ruang-lingkup ke dalam diri kita (dimensi subyektif).  He Fa, memiliki ruang lingkup keluar terhadap lingkungan di sekitar kita (dimensi obyektif).  Setiap manusia memiliki keunikannya masing-masing.  Problem akan timbul bahwa tingkat pengertian dari tiap individu berbeda-beda, sehingga menghasilkan sebuah kesimpulan yang berbeda-beda terhadap sebuah masalah yang sama.  Bagaimanakah cara menyikapinya?

Setiap manusia memiliki hak azasinya masing-masing untuk mempertahankan keunikan dirinya.  Meskipun demikian, ingat bahwa tiada seorang pun yang dapat menjalankan kemanusiannya secara normal dengan hidup tanpa orang lain.  Oleh karena itu, untuk menghadapi perbedaan-perbedaan yang timbul dalam pengertian masing-masing, kita memerlukan Wu pada suatu level yang lebih tinggi lagi. 

 Ada beberapa tips:

  1. Sadar bahwa tidak selalu diri kita pasti benar.  Oleh karena itu, perlu sikap jujur terhadap diri sendiri, lapang dada, dan rendah hati (misal: berani mengakui dan menerima kesalahan). 
  2. Sadar bahwa selalu ada orang lain yang lebih pintar dalam satu atau beberapa hal atau bidang tertentu.  Oleh karena itu, perlu sikap mengalah, terus mau belajar dan menyempurnakan diri.  Sementara anda belajar mengasah "Wu" anda, ikutilah petunjuk dari yang lebih tahu (senior, atasan, pemimpin, dsb). 
  3. Sadar bahwa kepintaran bukan segala-galanya.  Pada waktu dan kondisi tertentu, kita perlu menyadari posisi kita dalam kaitannya dengan budaya dan tradisi.  Ini adalah dasar menuju Wu juga: belajar untuk konform pada "yang telah ada", walaupun terus aktif menganalisa dan bersikap kritis. Memang sulit, karena disamping perlu kerendahan hati dan sikap fleksibel juga perlu wawasan yang luas dan dalam.  Misal: meskipun merasa diri kita sudah benar, namun mampu memberikan respon berupa sikap yang sesuai dengan budaya dimana kita berada.  Misal: sikap terhadap "Shi" (shifu, shixiung, shijie, shidi, shimei, dll)
  4. Sadar bahwa setiap masalah tidak sama urutan kepentingan atau prioritasnya.  Ada yang prinsipil, ada pula yang sepele sehingga lebih baik mengalah saja, atau dikorbankan. 
  5. Sadar akan tujuan, motivasi dan konstrain (kendala, batasan).  Belum tentu yang diajarkan atau diberikan oleh seseorang itu menyatakan sebuah pernyataan yang lengkap, mengingat adanya tujuan yang lain, misalnya: untuk mendidik dan merangsang untuk berpikir sendiri. 


Hal-hal yang mendukung dalam peningkatan Wu:

1.  Melatih "He Qing". 

Pemurnian hati nurani, sering melakukan introspeksi diri, menilai kemampuan dan keku-rangan diri, jujur terhadap diri sendiri, mencari jalan untuk mengerti "aku sejati", melatih kepekaan terhadap perasaan orang lain (empati). 

2.  Melatih "He Li". 

Memahami pengertian-pengertian dasar, berlatih mengenai "cara berpikir" yang baik, bersikap kritis, memiliki dasar (kenyataan, fakta, logika), tidak berprasangka dulu (apriori), tidak pretensius, wawasan harus luas dan mendalam (sekolah, kursus, bergaul, dsb), mempunyai pengetahuan terhadap cara pandang orang pada umumnya, tidak melakukan hal-hal aneh / sekedar berbeda. 

3.  Melatih "He Fa". 

Bersikap sosial, membuka diri terhadap lingkungan sekitar, mempelajari budaya, etika, norma, tata aturan dan hukum yang berlaku.  Melatih pengendalian diri yang baik. 


Secara global, disamping rajin menggunakan akal dan budi, kecerdasan dapat ditingkatkan melalui latihan Jing Zuo [Cing Co], yang juga termasuk salah satu cara memupuk kepekaan dan kecerdasan. 


Ciri-ciri mencapai Wu

Menurut pendapat saya, sulit untuk mengukur sampai dimanakah taraf Wu kita.  Jadi lebih baik kita berhenti untuk ukur-mengukur taraf Wu diri sendiri maupun orang lain.  Namun meskipun demikian, biasanya terdapat beberapa gejala yang berkorelasi dengan tingkat pencapaian seseorang.  Menurut saya, suatu sikap atau tindakan dapat dikatakan "Wu" biasanya memiliki karakteristik a. l. :

1. Fair terhadap pihak-pihak yang terlibat. 

2. Memancarkan kuasa (authoritative power) dan kesan yang baik (goodwill). 

3. Membina ke arah hubungan antar manusia dan pergaulan yang baik. 

4. Pada akhirnya akan mempunyai nilai positif untuk semua pihak. 

5. Memiliki nilai kebenaran universal. 


Saran:

  • Wu sangat mendasar dan penting bagi Siu Tao ( ) kita.  Bagi yang baru belajar Tao (), lebih baik mematangkan soal "Wu" ini sebelum mencoba mengerti konsep-konsep lain yang lebih sulit dan mendalam. 
  • Jangan cepat putus-asa, atau sebaliknya juga jangan terlalu berambisi (semuanya akan sampai sendiri pada waktunya), juga jangan cepat tersinggung apabila menerima kritik ataupun pendapat lain yang berbeda. 
  • Jangan menjadikan "Wu" sebagai tameng, sebagai alat mengadili orang lain.  Tidak tahu katakanlah tidak tahu.  Tidak boleh memberitahu, katakanlah belum saatnya.  Bila salah, akui salah.  Bila kalah, akui kalah.  Jangan membalik bahwa orang lain yang belum "Wu", karena anda sendiri yang akan rugi. 
  • Rajin-rajin mendengar Ciang Tao.  Aktif berdiskusi kelompok.  Rajin membaca buku yang baik, walau harus kritis menyaring dan berpikir sambil membaca.  Rendah hati saling belajar satu dengan yang lainnya.  Ingat bahwa dari pernyataan yang "pro" dan "kontra", kita akan lebih banyak mendapatkan pelajaran dari suatu pendapat yang "kontra".  Alangkah tentramnya dunia ini apabila semua orang bisa mencapai taraf tertinggi dalam Wu-nya, walaupun saya percaya bahwa hal ini adalah suatu impian yang mustahil belaka.  Perbedaan akan selalu timbul, karena itu adalah sesuatu kodrat juga.  Oleh karena itu, sangat penting memupuk sifat Lapang Dada.  Ini juga merupakan suatu Wu juga. 
  • Untuk melatih "Wu" diperlukan sikap-sikap lain yang merupakan dasar dari Siu Tao ( ) kita, misal: Zheng Yi (sikap yang satu), kemantapan atau percaya diri, dll. 


Sumber:
http://aindra.blogspot.com/2007/10/tao.html

17 July 2021

Kalacakra Buddha Vajrayana dan kebatinan Jawa

 

Tanpa ada maksud utk merendahkan/menghina, saya ingin men-share ke-ilmuan yang aslinya (Yamantaka / Vajra Bhairava Tantra) daripada versi distorsi nya (Kalacakra).

Semata2 bertujuan agar kita bisa saling asah, asuh, asih MENGGALI kembali ke-elmu-an di Jawa yg asli dan membongkar semua mitos2 dan segala versi Distorsi.

Oke, saya mulai ya.

1. bahwa Kebatinan Kejawen tak lain adalah versi tidak komplitnya aliran Buddha Vajrayana yang dulu berkembang di Nusantara

2. Sejak jaman kehancuran Majapahit, para praktisi aliran Vajrayana di bhumi nusantara ……………….., sehingga semua prakteknya tidak lagi dilakukan di tempat terbuka yang kebanyakan candi2 pamujan banyak yang dihancurkan, melainkan prakteknya secara diam2 tengah malam supaya tidak kedengaran, jadi dilakukan di BATIN saja, makanya disebut kebatinan.

3. Aliran Vajrayana di tanah Nusantara dulunya sangat hebat sekali bahkan banyak dijumpai para praktisi dari Tibet datang ke Nusantara utk belajar dan dibawa ke negaranya, misalnya dari guru besar Dharmakitri-Atisha yang menjadi pendiri salah 1 aliran dan 4 aliran utama di tibet.

4. MITOS alias versi DISTORSI aji KALACAKRA.


Asal Mula pencarian

mantra ini dipercayai sebagai penolak sial, oleh para generasi setelah invasi budaya arab masuk dan menghancurkan majapahit.

Yakni dipercaya bahwa kala adalah pembawa sial. Apakah begitu dulunya?

Dalam aliran Vajrayana/Tantrayana, Kala adalah salah satu pelindung Dharma yang berkuasa atas WAKTU(Wheel of Time).

Ketika saya mencari lebih dalam ttg KALACAKRA, ternyata di tibet juga dikenal kata KALACAKRA, namun bukan sbg penolak sial, melainkan utk ber-kultivasi secara spiritual, dan merupakan salah satu Sadhana tingkat tinggi dalam aliran Tantra.

Isi dari mantranya memakai 10-seed syllable yang disebut sbg 10 Bijjakshara, maksudnya 10 aksara(Om Ah Hung: HOH HAM KSHAH MA LA VA RA YA HUM PHET ), Btw Sumbernya dari sini (http://kalachakranet.org/kalachakra_…_powerful.html)


Lho jadi kan berbeda banget dengan mantra kalacakra dijawa, yang silabel berjumlah 32, yakni

YAMARAJA……….JARAMAYA

YAMARANI………..NIRAMAYA

YASILAPA…………PALASIYA

YAMIRODA……….DAROMIYA

YAMIDOSA……….SADOMIYA

YADAYUDA………..DAYUDAYA

YASIYACA……….CAYASIYA

YASIHAMA……….MAHASIYA


Nah terus gimana ??

Pencarian 32 Seed Syllable Mantra(ber abjad 32)

Setelah mencari2 akhirnya ada nemu mantra yang mempunyai 32 aksara, yakni Mantra Yamantaka.

Begitu saya lihat langsung kaget, aliran darah ikut bergolak….KETEMU DAH….saya kenal beberapa KATA2 nya.

Nah sabar dulu ya….sebelum saya tuliskan Mantra aslinya, saya ingin berikan backgroundnya siapakah Si Yamantaka ini?

Yamantaka yang dikenal sebagai Vajra Bhairava

Secara legenda di tibet, di kenal dewa hindhu bernama Yama, yakni Dewa diantara para Yaksa2 di alam kematian. Konon Yama sewaktu di tibet sering mencabut nyawa org2 banyak karena kurang sesajen.

Akhirnya Buddha Manhjuri (utk umur panjang) mengambil bentuk ‘MURKA’ (Ngalih Rupa- Ngalih papan ganti aran) menjadi Yamantaka Sang Pelindung Dharma.

Yamantaka (Vajra Bhairava) adalah pelindung Dharma yang berkepala 9, berwajah hitam seperti sapi, bertanduk, 1 penciptaan 1 penghabisan. Punya 34 tangan yang memakai mudra Tarjani/Mudra. 34+pikiran+tubuh+perkataan disebut 37 Bantuan pencerahan. Serta punya 16 kaki yg artinya 16 tingkat kekosongan.

Yamantaka adalah bentuk murkanya Bodisatva Manhjuri. Utk mengalahkan Yama, Mahnjuri mengambil bentuk seperti Yama hanya lebih sempurna dan ampuh serta tak terbatas.

Jadi jangan salah tafsir, yamantaka tidak sama dengan yama.

Yamantaka, alias Vajra Bhairava adalah musuh penghancur Yama.

Sadhana Yamantaka Tantra (Patrap Yamantaka[mengalahkan Yama/kematian] aliran Tantra)

Tujuan sadhana ini utk berumur panjang mengalahkan hidup dan mati.

Setelah mencari mantra2 ber bulan2 akhirnya sebuah kita kuno dari aliran Gelug-pa di tibet. Kitab ini judulnya “Sarvatathagatakayavakcitta-Krsnayamaritantra).

Sampai sekarang, sadhana ini masih terus di pakai baik di tibet maupun di nepal.

nah begini MANTRA ASLINYA:

1.Om Ah Hung

2.YA MA RA JA

3.SA DO ME YA

4.YA ME DO RU

5.Ya YO DA YA

6.YA DA YO NI

7.RA YA KSHI YA (Ya Kshi Ya sebetulnya dibaca Yaksi’a, artinya para Yaksa2)

8.YAk SHI YA CA

9.NI RA MA YA

10.Hum Hum Phat Phat Svaha


Setelah bongkar2 dan cari2 kamus sansekerta, ada beberapa kata yg berhasil dicari artinya;

Yama raja= Dewa Yama

Sadomaya=Sado(Pasukan) +Ameya(Yg tak terbatas dan tak terkalahkan)

Yamedoru=Yama[e](Yamantaka)+Dor[u](Punya tangan banyak)

Dayodaya=Dayo(Pengampunan)+Udaya(Perbuatan/produksi)

Yadayoni Ra Yak Shi Ya= Yada(??belum nemu)+Ayo-NiRaYak-Shi’Ya(Karena kamu mampu menghancurkan Neraka Besi

Niramaya=Nir+Amaya(Aku berkeinginan memujamu, wahai penghancur penyakit[kematian])

Jadi ini sebetulnya adalah mantra pemujaan memohon perlindungan pada Bodhisattva Yamantaka utk menghancurkan YAMA.

Sayang sekali versi distorsinya tidak tau lagi tujuan, arti dan makna mantra ini, sehingga di gatuk2 no sehingga bunyinya enak, terus diarti arti kan sendiri menjadi

YAMARAJA……….JARAMAYA

siapa yang menyerang,berbalik menjadi berbelas kasihan

YAMARANI………..NIRAMAYA

siapa datang bermaksud buruk, malah akan menjahui

YASILAPA…………PALASIYA

siapa membuat lapar akan malah memberi makan

YAMIRODA……….DAROMIYA

siapa memaksa malah menjadi memberi keleluasaan/kebebasan

YAMIDOSA……….SADOMIYA

siapa membuat dosa, berbalik membuat jasa

YADAYUDA………..DAYUDAYA

siapa memerangi berbalik menjadi damai

YASIYACA……….CAYASIYA

siapa membuat celaka berbalik menjadi membuat sehat dan sejahtera

YASIHAMA……….MAHASIYA

siapa membuat rusak berbalik menjadi membangun dan sayang.


Yang lucu adalah Yamidosa….kebalikan dari Sadomaya, padahal Sadomaya artinya gak ada hubungannya sama pembuat dosa/jasa.

Sadomaya adalah perwujudan Yamantaka.

Sayang semenjak para pengikut Vajrayana ‘dipaksa’ pindah agama arab, ilmu ini kena distorsi dan dikorupsi menjadi ‘kalacakra’.

Barangkali sepenggal mantra tidak komplit yang tersiksa sudah terlupakan judul dan tujuan asalnya, yang mungkin cuma diingat adalah utk umur panjang yang kemudian di identifikasikan dengan penolak sial yang kebetulan ‘kolo’ dalam bahasa jawa ngoko berarti sial, namun bukanlah seperti ‘Kala’ di versi Tantra Aslinya.

Para sedulurku penghayat kejawen, saya minta maaf jika ada kata2 yg menyinggung. Saya harap anda berada dalam kategori ke tiga. Sehingga Ilmu kejawen kuno bisa digali lagi dan dikembalikan ke bentuk aslinya.

3 gol.

1. Fanatik-Konserfatif: Tidak mau tau asalnya seperti apa, dan memegang teguh ’sisa2′ ajaran kejawen kuno dari vajrayana(bahkan tidak mengakui) yang jelas jelas notabene sudah ter ‘distorsi’ sesuai budaya kita yang ‘korupsi’……(hehehe terlalu banyak pake kata SI )

2. Progresif; peduli dan mau mencari jejak2 serta menggali budaya ilmu sendiri dan berpikir open minded.

3. Abangan; Mriki Jowo tapi ora jowo, artine ora beneh alias jaman edan, wis dicampur Sak enak udele karo setan arab.t


sumber: https://ahmadsamantho.wordpress.com/2012/07/04/kalacakra-buddha-vajrayana-dan-kebatinan-jawa/